Selasa, 03 Juli 2018

SUMBER HUKUM ISLAM MUTTAFAQ DAN MUKHTALAF


SUMBER HUKUM ISLAM MUTTAFAQ DAN MUKHTALAF

A.    Sumber Hukum Islam Muttafaq dan Mukhtalaf
1.    Sumber Hukum Muttafaq
Sumber hukum muttafaq adalah sumber hukum islam yang telah disepakati oleh seluruh umat islam. Berikut adalah sumber-sumber hukum yang muttafaq:
a.    Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah lafal berbahasa arab yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad, melalui peranta malikat jibril yang sampai kepada kita secara mutawatir, dan yang membacanya merupakan ibadah. Al-Qur’an merupakan wahyu yang tampak (Iwahyu azzahir), yaitu pesan Allah kepada Nabi SAW, yang disampaikan oleh Malaikat Jibril dengan kata-kata yang sepenuhnya dari Allah.
Al-Qur’an tidak diturunkan secara langsung dalam wujud tiga puluh juz seperti sekarang biasa kita lihat dalam bentuk sebuah kitab (buku). Ia diturunkan secara berangsur-angsur selama masa kenabian Rasulullah SAW.
Dengan melihat Al-Qur’an kita bisa mengetahui apa yang semestinya kita lakukan. Kita tau mana yang baik dan buruk, mana yang halal dan haram, mana yang boleh dilakukan dan mana yang dilarang. Itulah fungsi Al-Qur’an sebagai pembeda (furqan).
Dilihat dari kejelasan maknanya, ayat Al-Qur’an terbagi manjadi dua, yaitu ayat muhkamat dan ayat mutasyabihat.
1)   Ayat Muhkamat, artinya ayat yang jelas maknanya. Kita tidak ragu lagi ketika memahaminya. Dan juga terhindar dari kemunculan beberapa pendapat dalam memaknainya. Contohnya perintah shalat dan puasa.
2)   Ayat Mutasyabbihat, artinya ayat yang tidak pasti arti dan maknanya sehingga dapat dipahami dengan beberapa kemungkinan. Ayat Mutasyabihat sifatnya zanniyah ad-dalalah (dalil yang hukumnya bersifat dugaan/tidak pasti. Misalnya kata quru’ yang  dapat berarti suci dapat berarti pula haid

b.     As-Sunnah
Al-Qur’an adalah wahyu yang tampak, sedangkan Sunah adalah wahyu internal (wahyu batin). Wahyu internal disampaikan Allah kepada Nabi SAW.
Dengan demikian segala sesuatu yang berasal dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, maupun pengakuan Nabi terhadap suatu peristiwa dapat dikatakan sunah.
1)   Macam – macam As-Sunnah
a)    Sunah Qauliyyah
Qaul artinya perkataan, sedangkan qauliyah yang berkaitan dengan perkataan. Sunah Qauliyah merupakan seluruh perkataan Nabi SAW, perkataan Nabi tersebut didengar  oleh sahabat dan diteruskan kepada Tabi’in.
b)   Sunnah Fi’liyah
Semua perbuatan dan tingkah laku Nabi SAW, yang dilihat dan diperhatikan oleh sahabat disebut dengan sunah Fi’liyah.
c)    Sunnah Taqririyah
Sunnah Taqririyah adalah sikap Nabi SAW terhadap suatu kejadian (perbuatan atau perkataan sahabat) yang dilihatnya.
2)      Fungsi dan Kedudukan Sunnah
Kaum muslimin sepakat bahwa kedudukan sunah dalam penetapan suatu hukum adalah sebagai dasar yang kedua setelah Al-Qur’an. Yang demikian itu telah dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW, baik ketika beliau masih hidup maupun setelah wafat. Mereka bersepakat bahwa sunnah wajib diikuti. Mereka tidak membedakan antara katentuan yang terkandung dalam Al-Qur’an dan ketentuan yang disampaikan dalam sunnah.[1]
c.    Ijmak
Secara etimologis kata Ijmak merupakan masdar (kata benda verbal) dari kat ajma’a yang artinya ‘memutuskan dan menyepakati sesuatu’. Ia juga berarti kesepakatan bulat ( konsesus ).
Ijmak yang dilakukan para ulama setidaknya memiliki dua alasan. Pertama, setelah Rasulullah wafat, persoalan hukum islam yang baru muncul tidak bisa ditemukan jawabannya secara langsung didalam Al-Qur’an dan Sunnah. Kedua, persoalan terus berkembang dan menuntut adanya ketentuan hukum, sedangkan Al-Qur’an dan Sunnah dalam menetapkan hukum terkadang masih bersifat global.
1)   Macam dan tingkatan Ijmak
a)    Ijmak Sarih, yaitu ijmak yang menampilkan pendapat setiap ulama secara jelas dan terbuka, baik melalui ucapan maupun perbuatan. Ijmak Sarih ini menempati peringkat paling tinggi. Hukum yang ditetapkannya bersifat qat’i sehingga umat wajib mengikutinya. Oleh karena itu para ulama sepakat untuk menjadikan ijmak sarih ini sebagai Hujjah Syar’iyyah dalam penetapan hukum syarak.
b)   Ijmak Sukuti, yaitu sebagian mujtahid mengatakan pendapatnya mengenai hukum suatu peristiwa melalui perkataan atau perbuatan, sedangkan mujtahid lainnya tidak memberikan tanggapan apakah ia menerima atau menolak. Ijmak Sukuti ini bersifat zan dan tidak mengikat.
d.   Qiyas
Dari segi bahasa qiyas artinya mengukur, membandingkan sesuatu dengan yang semisalnya. Secara istillah, qiyas menurut Abu Zahra adalah :
“menghubungkan suatu perkara yang tidak ada hukumnya dalam nas dengan perkataan lain yang ada nas hukumnya karena ada persamaan ‘illah”
1)   Rukun Qiyas
a)    Al-Aslu, sesuatu yang sudah ada hukumnya dalam nas.
b)   Al-Far’u, sesuatu yang baru dan tidak ada hukumnya dalam nas.
c)    Hukum Asal, hukum syarak yang ada nasnya sebagai pangkal hukum bagi cabang.
2)   Macam-Macam Qiyas
a)    Qiyas Aula, qiyas yang ‘illah-nya mewajibkan aannya hukum.
b)   Qiyas Musawi, qiyas yang ‘illah-nya mewajibkan adanya hukum yang sama, baik pada hukum yang ada pada al-aslu maupun maupun hukum yang ada pada al-far’u (cabang).
c)    Qiyas Adna, qiyas dimana hukum al-far’u lebih lemah keterkaitan-nya dengan hukum al-aslu.[2]
2.      Sumber Hukum Mukhtalaf
Sumber hukum mukhtalaf adalah sumber hukum islam yang diperselisihkan oleh seluruh ulama. Berikut adalah sumber-sumber hukum yang mukhtalaf:
a.       Istihsan
Menurut bahasa, istihsan berarti menganggap sesuatu lebih baik atau mencari kebaikan. Menurut ulama ushul fiqh, ialah berpaling pada sesuatu masalah dari sesuatu hukum yang sama menuju hukum lain karena ada alasan yang lebih kuat”. Imam asy-Syarkhasi dalam kitabnya “al-Mabsut”, menyimpulkan bahwa istihsan ialah menghindarkan kesulitan demi kemudahan.” Sebab kemudahan merupakan unsur pokok atau prinsip dalam agama.
1)   Macam- macam Istihsan
a)      Istihsan Sunnah: Istihsan yang disebabkan oleh adanya ketetapan sunnah yang mengharuskan meninggalkan dalil Qiyas pada kasus yang bersangkutan.
b)      Istihsan Ijma’: istihsan yang meninggalkan penggunaan dalil qiyas karena adanya ijma’ ulama’ yang menetapkan hukum yang berbeda dari tuntutan qiyas.
c)      Istihsan Dlarurat: istihsan yang disebabkan oleh adanya keadaan dlarurat dalam suatu masalah yang mendorong seorang mujtahid untuk meninggalkan dalil qiyas.
b.    Maslahah Mursalah
Mashalihul mursalah terdiri dari dua kalimat yaitu maslahat dan mursalah. Maslahat sendiri secara etimologi didefinisikan sebagai upaya mengambil manfaat dan menghilangkan mafsadat atau madharat. Dari sini dapat dipahami, bahwa maslahat mamiliki dua terma yaitu adanya manfaat dan menjauhkan madharat.
Adapun mursalah dipahami sebagai sesuatu yang mutla yaitu maslahat yang secara khusus tidak dijabarkan oleh nash atau tidak ada perintah maupun larangan. Dengan tidak adanya qorinah tersebut, maka maslahat bisa menjadi acuan dalam menentukan suatu hukum.
c.    Urf
‘Urf menurut bahasa berarti mengetahui. ‘Urf adalah apa-apa yang saling diketahui oleh manusia dan mereka mempraktekkannya, baik perkataan maupun perbuatan atau meninggalkan. Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh adalah sesuatu yang telah saling dikenal oleh manusia dan mereka menjadikan tradisi.
d.   Syar’un Man Qoblana
Definisi Syar’u man qablana adalah hukum-hukum yang disyari’atkan Tuhan kepada umat-umat sebelum kita yang diturunkan melalui para Nabi dan para Rasul untuk disampaikan kepada seluruh masyarakat pada waktu itu.
e.    Istishab
Istishab secara bahasa berarti “meminta ikut serta secara kontinyu”. Adapun menurut pengertian istilah sebagaimana yang dikemukakan oleh sebagian ulama, istishab berarti: “Menganggap status sesuatu (hukumnya) tetap seperti keadaan semula tanpa perubahan, sebelum terbukti ada sesuatu yang mengubahnya (membatalkannya)”.
Senada dengan pengertian di atas, istishab berarti “Menetapkan berlakunya hukum yang telah ada atau meniadakan sesuatu yang memang tiada sampai ada bukti yang mengubah kedudukannya”. Contoh: Seseorang yang sebelumnya diketahui masih hidup tetap dianggap hidup selama belum ada bukti bahwa ia telah wafat, atau seseorang yang sudah berwudlu masih terus dihukumi punya wudlu sampai ada bukti yang membatalkannya.
f.     Saddud Dzari’ah
Saad secara bahasa: “menutup”, sedangkan dzarī’ah: “jalan yang menghubungkan kepada suatu tujuan, baik yang mengandung suatu kemafsadahan maupun mengandung suatu kemaslahatan, berupa perbuatan ataupun perkataan”. Dengan demikian saad dzarī’ah secara bahasa berarti “menutup jalan ke suatu tujuan“. Menurut istilah, Saad al-Dzarī’ah adalah: “Setiap sesuatu yang menghubungkan kepada sesuatu yang dilarang, yang mengandung kemafsadatan dan kemadhorotan”.[3]
g.    Madzhab Sahabi
Madzhab shohabi adalah: “Pendapat sahabat Rasulullah Saw tentang suatu kasus di mana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas di dalam al-Quran dan Hadis”. Sedangkan yang dimaksud dengan “sahabat” adalah “Setiap orang Islam yang hidup bergaul bersama Nabi dalam waktu yang cukup lama serta menimba ilmu dari Rasul”.[10] Para sahabat tersebut antara lain: Umar bin Khottob, Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar, Aisyah dll.
Penilaian Ulama’ tentang Madzhab Sahabi
1)      Hanafiah, Malikiah, Syafiah dan sebagian Hanabilah: fatwa sahabat dapat dijadikan pegangan generasi sesudahnya.
2)      Mu’tazilah, Syiah dan sebagian Hanabilah: fatwa sajabat tidak dapat dijadikan sebagai pegangan generasi sesudahnya.


[1] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fikih, (Jakarta: PT. Grafindo, 2011), 45-49

[2] Muhammad Abu Zahrah, Terjemah Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2009), 34-36.

[3] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 96-102.


1 komentar: