SUMBER HUKUM ISLAM
MUTTAFAQ DAN MUKHTALAF
A. Sumber
Hukum Islam Muttafaq dan Mukhtalaf
1. Sumber
Hukum Muttafaq
Sumber
hukum muttafaq adalah sumber hukum islam yang telah disepakati oleh seluruh
umat islam. Berikut adalah sumber-sumber hukum yang muttafaq:
a. Al-Qur’an
Al-Qur’an
adalah lafal berbahasa arab yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad, melalui
peranta malikat jibril yang sampai kepada kita secara mutawatir, dan yang
membacanya merupakan ibadah. Al-Qur’an merupakan wahyu yang tampak (Iwahyu
azzahir), yaitu pesan Allah kepada Nabi SAW, yang disampaikan oleh Malaikat
Jibril dengan kata-kata yang sepenuhnya dari Allah.
Al-Qur’an tidak diturunkan secara langsung dalam wujud tiga puluh juz
seperti sekarang biasa kita lihat dalam bentuk sebuah kitab (buku). Ia
diturunkan secara berangsur-angsur selama masa kenabian Rasulullah SAW.
Dengan melihat Al-Qur’an kita bisa mengetahui apa yang semestinya kita
lakukan. Kita tau mana yang baik dan buruk, mana yang halal dan haram, mana
yang boleh dilakukan dan mana yang dilarang. Itulah fungsi Al-Qur’an sebagai
pembeda (furqan).
Dilihat dari kejelasan maknanya, ayat Al-Qur’an terbagi manjadi dua, yaitu
ayat muhkamat dan ayat mutasyabihat.
1)
Ayat Muhkamat, artinya
ayat yang jelas maknanya. Kita tidak ragu lagi ketika memahaminya. Dan juga
terhindar dari kemunculan beberapa pendapat dalam memaknainya. Contohnya
perintah shalat dan puasa.
2)
Ayat Mutasyabbihat, artinya
ayat yang tidak pasti arti dan maknanya sehingga dapat dipahami dengan beberapa
kemungkinan. Ayat Mutasyabihat sifatnya zanniyah ad-dalalah (dalil
yang hukumnya bersifat dugaan/tidak pasti. Misalnya kata quru’ yang dapat
berarti suci dapat berarti pula haid
b.
As-Sunnah
Al-Qur’an adalah wahyu yang tampak, sedangkan Sunah adalah wahyu internal (wahyu
batin). Wahyu internal disampaikan Allah kepada Nabi SAW.
Dengan demikian segala sesuatu yang berasal dari Nabi SAW baik berupa
perkataan, perbuatan, maupun pengakuan Nabi terhadap suatu peristiwa dapat
dikatakan sunah.
1)
Macam – macam As-Sunnah
a)
Sunah Qauliyyah
Qaul artinya perkataan, sedangkan qauliyah yang berkaitan dengan perkataan.
Sunah Qauliyah merupakan seluruh perkataan Nabi SAW, perkataan Nabi tersebut
didengar oleh sahabat dan diteruskan kepada Tabi’in.
b)
Sunnah Fi’liyah
Semua perbuatan dan tingkah laku Nabi SAW, yang dilihat dan diperhatikan
oleh sahabat disebut dengan sunah Fi’liyah.
c)
Sunnah Taqririyah
Sunnah Taqririyah adalah sikap Nabi SAW terhadap suatu
kejadian (perbuatan atau perkataan sahabat) yang dilihatnya.
2)
Fungsi dan Kedudukan Sunnah
Kaum muslimin sepakat bahwa kedudukan sunah dalam penetapan suatu hukum
adalah sebagai dasar yang kedua setelah Al-Qur’an. Yang demikian itu telah
dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW, baik ketika beliau masih hidup
maupun setelah wafat. Mereka bersepakat bahwa sunnah wajib diikuti. Mereka
tidak membedakan antara katentuan yang terkandung dalam Al-Qur’an dan ketentuan
yang disampaikan dalam sunnah.[1]
c. Ijmak
Secara etimologis kata Ijmak merupakan masdar (kata benda
verbal) dari kat ajma’a yang artinya ‘memutuskan dan
menyepakati sesuatu’. Ia juga berarti kesepakatan bulat ( konsesus ).
Ijmak yang dilakukan para ulama setidaknya memiliki dua alasan. Pertama, setelah
Rasulullah wafat, persoalan hukum islam yang baru muncul tidak bisa ditemukan
jawabannya secara langsung didalam Al-Qur’an dan Sunnah. Kedua, persoalan
terus berkembang dan menuntut adanya ketentuan hukum, sedangkan Al-Qur’an dan
Sunnah dalam menetapkan hukum terkadang masih bersifat global.
1)
Macam dan tingkatan Ijmak
a)
Ijmak Sarih, yaitu ijmak
yang menampilkan pendapat setiap ulama secara jelas dan terbuka, baik melalui
ucapan maupun perbuatan. Ijmak Sarih ini menempati peringkat
paling tinggi. Hukum yang ditetapkannya bersifat qat’i sehingga
umat wajib mengikutinya. Oleh karena itu para ulama sepakat untuk
menjadikan ijmak sarih ini sebagai Hujjah Syar’iyyah dalam
penetapan hukum syarak.
b)
Ijmak Sukuti, yaitu
sebagian mujtahid mengatakan pendapatnya mengenai hukum suatu peristiwa melalui
perkataan atau perbuatan, sedangkan mujtahid lainnya tidak memberikan tanggapan
apakah ia menerima atau menolak. Ijmak Sukuti ini
bersifat zan dan
tidak mengikat.
d.
Qiyas
Dari segi bahasa qiyas artinya mengukur, membandingkan
sesuatu dengan yang semisalnya. Secara istillah, qiyas menurut
Abu Zahra adalah :
“menghubungkan suatu perkara yang tidak ada hukumnya dalam nas dengan
perkataan lain yang ada nas hukumnya karena ada persamaan ‘illah”
1)
Rukun Qiyas
a)
Al-Aslu, sesuatu yang
sudah ada hukumnya dalam nas.
b)
Al-Far’u, sesuatu yang
baru dan tidak ada hukumnya dalam nas.
c)
Hukum Asal, hukum syarak
yang ada nasnya sebagai pangkal hukum bagi cabang.
2)
Macam-Macam Qiyas
a)
Qiyas Aula, qiyas
yang ‘illah-nya mewajibkan aannya hukum.
b)
Qiyas Musawi, qiyas
yang ‘illah-nya mewajibkan adanya hukum yang sama, baik pada
hukum yang ada pada al-aslu maupun maupun hukum yang ada
pada al-far’u (cabang).
2.
Sumber Hukum
Mukhtalaf
Sumber hukum
mukhtalaf adalah sumber hukum islam yang diperselisihkan oleh seluruh ulama.
Berikut adalah sumber-sumber hukum yang mukhtalaf:
a.
Istihsan
Menurut bahasa, istihsan berarti menganggap sesuatu lebih
baik atau mencari kebaikan. Menurut ulama ushul fiqh, ialah
berpaling pada sesuatu masalah dari sesuatu hukum yang sama menuju hukum lain
karena ada alasan yang lebih kuat”. Imam asy-Syarkhasi dalam kitabnya
“al-Mabsut”, menyimpulkan bahwa istihsan ialah menghindarkan kesulitan demi
kemudahan.” Sebab kemudahan merupakan unsur pokok atau prinsip dalam agama.
1)
Macam- macam Istihsan
a)
Istihsan Sunnah: Istihsan yang
disebabkan oleh adanya ketetapan sunnah yang mengharuskan meninggalkan dalil
Qiyas pada kasus yang bersangkutan.
b)
Istihsan Ijma’: istihsan yang
meninggalkan penggunaan dalil qiyas karena adanya ijma’ ulama’ yang menetapkan
hukum yang berbeda dari tuntutan qiyas.
c)
Istihsan Dlarurat: istihsan yang
disebabkan oleh adanya keadaan dlarurat dalam suatu masalah yang mendorong
seorang mujtahid untuk meninggalkan dalil qiyas.
b.
Maslahah
Mursalah
Mashalihul mursalah terdiri dari dua
kalimat yaitu maslahat dan mursalah. Maslahat sendiri secara etimologi
didefinisikan sebagai upaya mengambil manfaat dan menghilangkan mafsadat atau madharat.
Dari sini dapat dipahami, bahwa maslahat mamiliki dua terma yaitu adanya
manfaat dan menjauhkan madharat.
Adapun mursalah dipahami sebagai
sesuatu yang mutla yaitu
maslahat yang secara khusus tidak dijabarkan oleh nash atau tidak ada perintah maupun
larangan. Dengan tidak adanya qorinah tersebut, maka maslahat
bisa menjadi acuan dalam menentukan suatu hukum.
c.
Urf
‘Urf menurut bahasa berarti mengetahui. ‘Urf adalah apa-apa yang saling
diketahui oleh manusia dan mereka mempraktekkannya, baik perkataan maupun
perbuatan atau meninggalkan. Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh adalah
sesuatu yang telah saling dikenal oleh manusia dan mereka menjadikan tradisi.
d.
Syar’un
Man Qoblana
Definisi Syar’u man qablana adalah hukum-hukum yang
disyari’atkan Tuhan kepada umat-umat sebelum kita yang diturunkan melalui para
Nabi dan para Rasul untuk disampaikan kepada seluruh masyarakat pada waktu itu.
e.
Istishab
Istishab
secara bahasa berarti “meminta ikut serta secara kontinyu”. Adapun menurut
pengertian istilah sebagaimana yang dikemukakan oleh sebagian ulama, istishab
berarti: “Menganggap status sesuatu (hukumnya) tetap seperti keadaan semula
tanpa perubahan, sebelum terbukti ada sesuatu yang mengubahnya
(membatalkannya)”.
Senada
dengan pengertian di atas, istishab berarti “Menetapkan berlakunya hukum yang
telah ada atau meniadakan sesuatu yang memang tiada sampai ada bukti yang
mengubah kedudukannya”. Contoh: Seseorang yang sebelumnya diketahui masih hidup
tetap dianggap hidup selama belum ada bukti bahwa ia telah wafat, atau
seseorang yang sudah berwudlu masih terus dihukumi punya wudlu sampai ada bukti
yang membatalkannya.
f.
Saddud
Dzari’ah
Saad secara bahasa: “menutup”, sedangkan dzarī’ah: “jalan yang
menghubungkan kepada suatu tujuan, baik yang mengandung suatu kemafsadahan
maupun mengandung suatu kemaslahatan, berupa perbuatan ataupun perkataan”.
Dengan demikian saad dzarī’ah secara bahasa berarti “menutup jalan ke suatu
tujuan“. Menurut istilah, Saad al-Dzarī’ah adalah: “Setiap sesuatu yang
menghubungkan kepada sesuatu yang dilarang, yang mengandung kemafsadatan dan
kemadhorotan”.[3]
g.
Madzhab
Sahabi
Madzhab shohabi adalah: “Pendapat sahabat Rasulullah Saw tentang suatu
kasus di mana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas di dalam al-Quran dan
Hadis”. Sedangkan yang dimaksud dengan “sahabat” adalah “Setiap orang Islam
yang hidup bergaul bersama Nabi dalam waktu yang cukup lama serta menimba ilmu
dari Rasul”.[10] Para sahabat tersebut antara lain:
Umar bin Khottob, Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit,
Abdullah bin Umar, Aisyah dll.
Penilaian Ulama’ tentang Madzhab
Sahabi
1)
Hanafiah, Malikiah, Syafiah dan
sebagian Hanabilah: fatwa sahabat dapat dijadikan pegangan generasi sesudahnya.
2)
Mu’tazilah, Syiah dan sebagian
Hanabilah: fatwa sajabat tidak dapat dijadikan sebagai pegangan generasi
sesudahnya.
[1] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fikih, (Jakarta: PT. Grafindo,
2011), 45-49
[2] Muhammad Abu Zahrah, Terjemah Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka
Jaya, 2009), 34-36.
[3] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka
Setia, 2010), 96-102.
Izin share & copas..
BalasHapus