MAQAMAT dan AHWAL
DALAM TASAWUF
Makalah ini
disusun untuk memenuhi tugas mata pelajaran “Aqidah Akhlak”
1.
Sholihul Umma
2.
Rizka Yunia S.
3.
Deni Agung P.
4.
Diki Qoirul A.
MA YPI
MANBAUL ULUM
SEMANDING
JENANGAN PONOROGO
BAB
I
Pengenalan
diri di kalangan sufi merupakan sesuatu yang sangat penting. Orang yang tidak
mau mengenali dirinya sendiri, sama saja dengan karung yang kosong melompong.
Ilmu pengetahuan diri dianggap ilmu rahasia. Orang yang belum pernah belajar
ilmu pengenalan diri dianggap belum sempurna imannya.
Maqamat
di dalam tasawuf mempunyai arti sebagai tingkatan-tingkatan yang harus di tempu
oleh seorang sufi untuk mencapai ma’rifatullah (mengenal Alloh), yang sifatnya
permanen atau tetap, namun sifatnya tidak tegas dan tidak berurutan.
Didalam
tasawuf, banyak teori yang menyebut karakter-karakter keluhuran yang seharusnya
dimiliki oleh manusia. Karakter-karakter tersebut tergambar dalam konsep-konsep
yang salah satunya adalah maqamat.
Dalam
konsep maqamat, terdapat banyak karakter keluhuran yang dijadikan syarat bagi
seseorang yang pendakian spiritual, dan karakter-karakter tadi yang diantaranya
adalah Taubah yang berarti semangat untuk melakukan perubahan yang lebih baik.
Atas
dasar pemikiran di atas kami mengambil judul makalah “Tingkatan Ahwal dan
Tasawuf”. Dan juga masih terdapat karakter-karakter lain yang akan dibahas
lebih detail dalam makalah ini.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa yang
dimaksud dengan maqamat dan tingkatannya dalam
tasawuf ?
2. Apa yang
dimaksud dengan ahwal dan tingkatannya dalam tasawuf ?
C. Tujuan
Pembahasan
1. Untuk mengetahui
penjelasan dari maqamat dan tingkatannya dalam
tasawuf.
2. Untuk mngetahui
penjelasan dari ahwal dan tingkatannya dalam
tasawuf.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Maqamat
Secara
harfiah, maqamat merupakan jamak dari kata maqam yang
berarti tempat atau kedudukan. Dalam Sufi Terminology,The
Mystical Language of Islam,maqam diterjemahkan sebagai spiritual. Karena sebuah
maqam diperoleh melalui daya upaya (Mujahadah) dan ketulusan dalam menempuh
jalan spiritual. Sedangkan dalam ilmu Tasawuf, maqamat berarti
kedudukan hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang telah diusahakan,
baik melalui riyadhah, ibadah, maupun mujahadah. Maqam
dilalui seorang hamba melalui usaha yang sungguh-sungguh dalam melakukan
sejumlah kewajiban yang harus ditempuh dalam jangka waktu tertentu. Seorang
hamba tidak akan mencapai maqam berikutnya sebelum menyempurnakan maqam
sebelumnya.Dengan demikian kualitas-kualitas tingkatan tersebut akan senantiasa
melekat, semakin tinggi kedudukan yang dicapai maka akan sempurna dan utuh
kualitas dari diri seseorang.[1]
B. Tingkatan
Maqamat
1) Taubat
Taubat berasal dari Bahasa
Arab taba-yatubu-taubatan yang berarti “kembali” dan “penyelesalan”.
Sedangkan pengertian taubat bagi kalangan sufi adalah memohon ampun
atas segala dosa yang disertai dengan penyesalan dan berjanji dengan
sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut dan diikuti
dengan melakukan kebajikan yang dianjurkan oleh Allah. Yang dimaksud
sebagai maqam dalam tasawuf adalah upaya taubat, karena merasakan
kenikmatan batin. Taubat ini dilakukan para sufi hingga mampu
menggapai maqam yang lebih tinggi.
Ibnu Taimiyah membedakan taubat
menjadi dua: taubat wajib dan taubat sunnah. Taubat wajib adalah taubat karena
menyesali perbuatan yang meninggalkan perkara-perkara wajib, atau menyesal
karena melakukan perkara-perkara haram. Sedangkan taubat sunnah adalah taubat
karena menyesali perbuatan meninggalkan perkara-perkara sunnah, atau karena
menyesali perbuatan melakukan perkara-perkara makruh.
2) Wara’
Wara’,secara harfiah, berarti
saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa atau maksiat. Sedangkan
pengertian wara’ dalam pandangan sufi adalah meninggalkan segala
sesuatu yang tidak jelas hukumnya, baik yang menyangkut makanan, pakaian,
maupun persoalan lainnya. Disamping meninggalkan sesuatu yang belum jelas
hukumnya, dalam sufi, wara’ suga berarti meninggalkan segala hal yang
berlebihan,baik berwujud benda dan perilku. Selain itu,juga meninggalkan segala
hal yang tidak bermanfaat.
Para ahli tasawuf juga membagi
wara’ menjadi dua yaitu wara’ lahiriyah
dan wara’ batiniyah. Wara’ lahiriyah berarti meninggalkan
segala hal yang tidak diridhoi oleh Allah, sedangkan wara’ batiniyah adalah
tidak menempatkan atau mengisi hati kecuali dengan mengingat Allah.
3) Zuhd
Secara etimologis, zuhud
berarti ragaba ‘ansyai’in wa tarakahu, artinya tidak tertarik
terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Dengan kata lain Zuhd adalah menjauhkan
diri dari apapun yang dapat memalingkan dari Tuhan. Dalam pandangan kaum
sufi, dunia dan segala isinya merupakan sumber kemaksiatan dan kemungkaran yang
dapat menjauhkannya dari Tuhan. Ketika seorang sufi tidak lagi terbelenggu oleh
kehidupan duniawi dan hanya membutuhkan Allah, maka dengan sendirinya ia telah
sampai pada derajat kefakiran faqr. Sikap zuhd ini erat
hubungannyadengan taubah, sebab taubah tidak akan berhasil
apabila hati dan keinginannya masih terkait kepada kesenangan duniawi. Dalam
tasawuf,Zuhd merupakan maqam yang yang sangat menentukan.
4) Farq
Secara harfiah fakir biasanya
diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau orang miskin. Sedangkan dalam
pandangan sufi fakir dipandang sebagai sikap hidup yang tidak terlalu berlebihan
atau memaksakan diri untuk mendapatkan sesuatu. Tidak menuntut lebih dari apa
yang telah diterimakan kepadanya. Karena segala sesuatu yang ada di alam
semesta ini adalah menjadi milik Allah SWT. Kebanyakan para sufi memilih untuk
hidup miskin karena semakin banyak harta benda yang dimiliki akan semakin
menyulitkan mereka dihari kiamat. Kekayaan atau kenikmatan duniawi adalah
sesuatu yang dapat memalingkan seseorang dari Tuhannya.Untuk dapat
menghilangkan diri dari golongan duniawi dibutuhkan kesabaran yang tinggi. Oleh
karenanya orang yang faqr pada dasarnya adalah orang yang telah mencapai maqam
sabr.
5) Shabr
Sabar, secara harfiah,berarti
tabah hati.Sabar berarti menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan
kehendak Allah, tetap tenang ketika mendapat cobaan dan menampakkan sikap
cukup, walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran. Kesabaran
merupakan suatu kekuatan yang membuat diri seseorang dapat bertahan dari segala
macam dorongan dan gangguan yang datang dari luar dirinya.
Sedemikian pentingnya sabar dalam
kehidupan manusia,maka para sufi menjadikan sabar sebagai maqamah yang teramat
penting untuk dilalui dalam perjalanan spiritualnya.
6) Tawakkal
Secara harfiah tawakkal berarti
menyerahkan diri. Sehingga seseorang yang telah menyerahkan sepenuhnya
kepada Allah,tidak ada keraguan dan kemasygulan tentang apapun yang menjadi
keputusan Allah. Seseorang yang ada pada maqam tawakkal akan merasakan
ketenangan dan ketentraman. Ia senantiasa merasa mantap dan optimis dalam
bertindak.
7) Ridla
Ridha, secara harfiah, berarti
rela, senang dan suka. Sedangkan pengertiannya secara umum adalah tidak menentang qadha dan qadar Allah, menerima qadha dan qadar denga
hati senang. Mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal di
dalamnya hanya perasaan senang dan gembira. Ridla adalah buah dari
tawakkal.Dimana jika seorang sufi telah bebar-benar melaksanakan tawakkal maka
dengan sendirinya ia akan sampai pada maqam ridla.
C. Pengertian
Ahwal
Ahwal
adalah jamak dari hal yang berarti keadaan atau situasi
kejiwaan. Secara terminology, Ahwal berarti keadaan spiritual yang menguasai
hati.Hal masuk dalam hati seseorang sebagai anugrah yang diberikan
oleh Allah.Hal datang dan pergi dan pergi dari diri seseorang
dengan tanpa usaha. Karena dengan cara tiba-tiba,maka pada dasarnya maqam
adalah upaya (makasib) sedang hal adalah karunia (mawahib).
Sehingga kadang hal datang dalam waktu yang cukup lama dan kadang datang hanya
sekejap.
Banyak
kalangan yang menyatakan bahwa jika dipahami lebih dalam, pada dasarnya hal
tidak lebih merupakan bagian dari manifestasi tercapainya maqam sesuai dengan
hasil usaha yang sungguh-sungguh dengan amalan-amalan yang baik dan dengan
penuh kepasrahan kepada Allah. Meskipun hal merupakan kondisi
yang bersifat karunia (mawahib) namun seseorang yang ingin memperolehnya tetap
harus melalui upaya dengan memperbanyak amal baik atau ibadah. Pada dasarnya
ahwal dan maqamat adalah satu kesatuan,perbedaannya
Jika maqam diperoleh melalui usaha, akan tetapi hal bukan
diperoleh melalui usaha,melainkan anugerah dan rahmat dari
Tuhan. Maqam sifatnya permanen, sedangkan hal sifatnya
temporer sesuai tingkatannya.
D. Tingkatan
Ahwal
1. Muraqabah
Muraqabah adalah kondisi kejiwaan
yang dengan sepenuhnya ada dalam keadaan konsentrasi dan waspada. Merasa selalu
diawasi oleh Allah SWT sehingga dengan kesadaran ini mendorong manusia
senantiasa rajin melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Hal penting
yang harus ditunjukkan dalam muraqabah adalah konsistensi diri terhadap
perilaku yang baik. Oleh karenannya,melakukan muraqabah dibutuhkan disiplin
yang tinggi . Kedisiplinan inilah yang akan menghantar seseorang menuju
kebahagiaan yang hakiki.
2. Mahabbah
Mahabbah (cinta) mengandung arti
keteguhan dan kemantapan.Seseorang yang sedang dilanda cinta. Ia senantiasa
teguh dan mantap ,serta senantiasa mengingat dan memikirkan yang dicinta.
Mahabbah pada tingkatan selanjutnya dapat diartikan suatu usaha
sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat rohaniah
tertinggi dengan terwujudnya kecintaan yang mendalam kepada Allah.
3. Khauf
Khauf adalah suatu sikap mental
yang merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdianya. Takut dan
khawatir kalau Allah tidak senang kepadanya. Perasaan takut ini sangat sulit
untuk bisa dipahami oleh seseorang dengan kasat mata, karena hal ini sangat
terkait dengan pengalaman keberagamaan seseorang yang bersifat pribadi.
Perasaan takut akan memberikan dorongan untuk melakukan yang terbaik sehingga
akan menerima akibat yang baik pula.
4. Raja’
Raja’ dapat berarti berharap
atau optimisme, yaitu perasaan senang hati karena menanti sesuatu yang
diinginkan dan disenangi. Seseorang yang mengharapkan sesuatu akan berupaya
semaksimal mungkin untuk meraih dan merealisasikan harapannya. Jika perasaan
takut dilengkapi dengan harapan,maka akan menimbulkan keberanian pada diri
seseorang.
5. Shauq
Shauq (rindu) merupakan luapan
perasaan yang mengharapkan untuk senantiasa bertemu dengan sesuatu yang
dicintai. Begitu pula seorang hamba yang dilanda kerinduan pada Allah SWT akan
terlepas dari hasrat selain Allah. Sebagai bukti dari perasaan shauq adalah
terbebasnya dari hawa nafsu.
6. Uns
Uns (perasaan suka cita)
merupakan kondisi kejiwaan dimana seseorang merasakan kedekatan dengan Tuhan.
Seseorang yang ada pada kondisi uns akan merasaka kebahagiaan, kegembiraan
serta suka cita yang meluap-luap. Dalam keadaan seperti ini, seorang sufi
merasakan tidak ada yang dirasa, tidak ada yang diingat, tidak ada yang diharap
kecuali Allah. Segenap jiwa terpusat kepada-Nya.
7. Tuma’ninah
Thuma’ninah adalah rasa tenang,
tidak ada rasa was-was atau khawatir, tidak ada yang dapat mengganggu perasaan
dan pikiran, karena ia telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling
tinggi. Seseorang yang telah mencapai tingkatan thuma’ninah, ia telah kuat
akalnya, kuat imannya dan ilmunya serta bersih ingatannya. Jadi, orang tersebut
merasakan ketenangan, bahagia, dan tentram.
8. Musyahadah
Musyahadah secara harfiah
adalah menyaksikan dengan mata kepala. Secara terminologi, musyahadah adalah
menyaksikan secara jelas dan sadar apa yang dicarinya (Allah) atau penyaksian
terhadap kekuasaan dan keagungan Allah. Seorang sufi telah mencapai musyahadah ketika
sudah merasakan bahwa Allah telah hadir atau Allah telah berada dalam hatinya
dan seseorang sudah tidak menyadari segala apa yang terjadi, segalanya
tercurahkan pada yang satu, yaitu Allah.
9. Yaqin
Yaqin merupakan sebuah kepercayaan
yang kuat dan tidak tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan yang
dimiliki,karena penyaksiaannya dengan segenap jiwanya dan dirasakan oleh
seluruh ekspresinya serta disaksikan oleh segenap eksistensinya.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam
ilmu Tasawuf, maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah
berdasarkan apa yang telah diusahakan. Sedangkan ahwal adalah kedudukan atau
situasi kejiwaan yang dianugerahkan Allah kepada seseorang hamba pada suatu
waktu, baik sebagai buah dari amal saleh yang mensucikan jiwa atau sebagai
pemberian semata. Pada dasarnya pencapaian maqamah dan ahwal adalah merupakan
pengalaman spiritual yang bersifat pribadi, sehingga yang mengetahui secara
persis adalah sufi yang mengalaminya secara langsung.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul, Muhayya.1996/1997.Maqamat dan Ahwal. Jakarta:
Depag RI.
Muhammad, Hasyim.2002.Dialog antara Tasawuf dan
Psikologi.Yogyakarta : Pustaka pelajar.
http://ipnu-ippnu-joho.blogspot.com/2013/05/maqamat-dan-ahwal-dalam-tasawuf
Syukur, Amin.2003. Tasawuf Kontekstual.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar